
Jakarta - Difteri ialah penyakit infeksi basil yang beberapa kali menimbulkan insiden luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini sudah dideskripsikan semenjak kala ke-5 sebelum masehi oleh para ilmuwan Yunani dan menjadi penyebab ajal terbanyak pada anak-anak.
Konsultan penyakit infeksi Dr dr Hindra Irawan Satari, SpA(K), dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menjelaskan difteri mematikan lantaran membentuk selaput di kanal napas. Dampaknya seorang anak akan jadi kesulitan atau bahkan tidak sanggup bernapas.
Selain itu basil difteri juga memproduksi toksin yang sanggup merusak jantung, ginjal, dan saraf memicu komplikasi.
1. Penyebab difteri
Difteri disebabkan oleh infeksi basil berjulukan Corynebacterium Diphteriae pertama kali diidentifikasi oleh ilmuwan berjulukan F. Loeffler sekitar tahun 1880. Bakteri difteri ini sanggup menyebar lewat droplet (percikan halus liur) sampai kontak fisik langsung.
Percikan air ludah yang berterbangan ketika penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta kuman-kuman difteri. Apalagi lingkungan yang kotor sanggup menimbulkan difteri lebih gampang lagi menyerang anak-anak.
2. Gejala difteri
Gejala penyakit difteri dijelaskan oleh seorang andal anak dr Arifianto, SpA, yang berpraktik di Kramat Jati mulai dari yang ringan menyerupai demam, batuk, pilek, akhir adanya pembengkakan pada tenggorokan. Biasanya tanda-tanda difteri muncul 2-5 hari sesudah terinfeksi.
Setelah itu ciri khas dari difteri ialah terbentuknya selaput tipis berwarna putih ke abu-abuan di tenggorokan.
3. Obat difteri
Untuk mengobati difteri dokter biasanya akan menunjukkan dua jenis obat yaitu antibiotik dan antitoksin.
Antibiotik akan diberikan untuk membunuh basil dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan tanda-tanda dan usang pasien menderita difteri. Sebagian besar pasien sanggup keluar dari ruang isolasi sesudah mengonsumsi antibiotik selama 2 hari, tetapi sangat penting bagi mereka untuk tetap menuntaskan konsumsi antibiotik sesuai anjuran.
Sementara itu antitoksin diberikan untuk menetralisasi toksin atau racun difteri yang menyebar dalam tubuh. Sebelum menunjukkan antitoksin, dokter akan mengecek apakah pasien mempunyai alergi terhadap obat tersebut atau tidak. Apabila terjadi reaksi alergi, dokter akan menunjukkan antitoksin dengan takaran rendah dan perlahan-lahan meningkatkannya sambil melihat perkembangan kondisi pasien.
4. Pencegahan difteri
Untuk mencegah penyebaran difteri terdapat vaksin yang sanggup diberikan terutama bagi bawah umur dan lansia lantaran dianggap paling rentan. Namun demikian semua orang umur berapapun dianjurkan untuk menerima vaksin difteri lantaran penyakit sanggup menyerang siapa saja.
"Penyakit difteri tidak memandang usia, sampaumur pun juga sanggup kena," ungkap dr Mohammad Subuh yang pada tahun 2017 kemudian menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.
Comments
Post a Comment